GGLINK-NEWS-WONOGIRI-Pada ketinggian sekitar 1.500 meter di atas permukaan laut acara budaya yang sudah memasuki tahun ke empat dikemas secara kolosal itu digelar. Tepatnya di wilayah pegunungan Lawu Selatan di Desa Setren, Kecamatan Slogohimo. “Susuk Wangan”, yang bila diartikan membersihkan saluran air, awalnya hanya dilakukan secara sederhana.
Laiknya masyarakat Jawa dengan cara ”nyadran”. Entah sejak kapan, namun sebelum dikemas seperti sekarang ini yang dirintis oleh Begug tahun 2007 lalu, setiap Sabtu Kliwon Bulan Besar. tiap tahunnya warga menuju sumber mata air yang berada di pegunungan dengan membawa ayam panggang lengkap dengan nasi yang dimasukkan ke dalam encek (wadah dari pelepah pohon pisang). Setelah didoakan oleh sesepuh setempat, ayam panggang pun di suwir-suwir dan dinikmati oleh semua pengunjung yang datang.
Kepala Desa Setren Sri Purwanti mengatakan inti dari ”Susuk Wangan” adalah ucapan syukur atas melimpahnya sumber mata air dari gunung kepada warga, baik untuk konsumsi maupun mengairi area sawah dan ladang. ”Agar lebih menarik sekaligus menyedot pengunjung, maka pertunjukkan seni dipertontonkan,” jelasnya Sabtu (13/11).
Sayang ”Pincuk” Daun Pisang Berganti Plastik
Sejak empat tahun lalu, jumlah ayam panggang yang dibawa cenderung menurun. Saat kegiatan ini dilangsungkan tahun 2007, sebanyak 400 ayam panggang dibawa oleh warga sekitar dan semua warga yang memanfaatkan air yang jika dirunut sampai ke desa-desa di bawah Setren. Namun, untuk kali ini hanya warga sekitar Setren saja.
Kali ini panggang berjumlah 179. Tak beda jauh dengan saat digelar tahun lalu. Yang agak berbeda, jika tahun lalu area upacara diselimuti kabut dan hujan, Sabtu lalu cuaca terang benderang sehingga kabut hanya ada di bagian atas tempat upacara. Ini pula yang menjadi daya tarik Setren. Selain adanya tiga air terjun dan beberapa sendang peninggalan Panembahan Senopati, kabut yang tiada henti selalu terjadi di bagian atas. Namun keindahan air terjun hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki selama hampir satu jam PP.
Dalam acara yang dihadiri oleh jajaran Muspida dan Muspika lengkap dengan Disbudparpora, beberapa anggota dewan dan tokoh masyarakat setempat itu jumlah pengunjung lebih banyak dibanding tahun lalu. Bahkan untuk hiburan juga bertambah. Selain Reog lengkap dengan kucingan, ada pula seni lesung, Tari Remo dari Jawa Timur, dan tarian kontemporer yang dipertontonkan oleh mahasiswa dari ISI Surakarta. Satu yang hilang, Kethek Ogleng urung diadakan mengingat akan cukup menyita waktu. Sedangkan festival gledekan (becak lawu ala Setren) masih tetap ada. Gledek yang biasa dipakai warga untuk membawa rumput dihias sedemikian rupa agar terihat cantik. Sementara itu, bupati yang dijadwalkan datang pukul 09.00 terlebih dulu menghadiri kegiatan di pendapa rumah dinas. Alhasil, even budaya pun baru selesai pada pukul 12.30.
Meski meriah, namun ada satu yang mengganjal saat JogloSemar melihat ke dalam bilik tempat ayam panggang di suwir dan diberi nasi. Pembungkus daun pisang yang di pincuk seperti tahun lalu tidak ada sama sekali. Justru berganti dengan plastik warna putih. Mereka yang berada di sana pun mengatakan demi alasan praktis dan cepat. Padahal justru menghilangkan nilai budaya dalam upacara yang masih bisa dibilang sakral tersebut. Warga pun menanti ayam dan nasi itu dibagikan. Nasi dan ayam yang sudah didoakan itu dipercaya dapat membawa berkah bagi siapa yang makan.([email protected])
Waspada!!! Perlu dilestarikan, jangan sampai dihapus. Aset Budaya yang perlu dilestarikan!