WONOGIRI-Ketua Fatayat Nahdlatul Ulama Solo Raya Sehah Walafiah menyetujui seorang perempuan mempunyai kesempatan yang sama untuk menjadi seorang pemimpin Negara (presiden) seperti kaum lelaki. Menurutnya presiden bukan khalifah. Presiden menurutnya hanya menjalankan hokum Negara bukan hokum Allah (Al Quran).
Pendapat itu dikemukakan Sehah Walafiah di hadapan enam lembaga yakni Fatayat NU, Forum Kata Hawa, The Asian Fondation, Danida, Percik dan Polri, di Wisma Kementerian Agama Wonogiri, pada acara sarasehan dalam rangka Hari Ibu ke 82 Kabupaten Wonogiri bertema “Perlindungan Perempuan Dalam Perspektif Keamanan dan Keagamaan untuk Membangun Kerjasama Polri, Pemerintah Mayarakat melalui Program Polisi Masyarakat.
“Presiden itu bukan khalifah, karena presiden hanya menjalankan hokum Negara bukan hokum Allah,” demikian pendapat Sehah Walafiah sebagai narasumber pada sarasehan tersebut. Saat itu dia menjawab pertanyaan peserta tentang kedudukan perempuan yang menjadi pemimpin. Sehah Walafiah menyadari hal itu kontrofersial, namun dia tetap yakin pendapatnya benar seperti yang diajarkan dan dipelajari di organisasi kewanitaan dibawah bendera NU (Nahdlatul Ulama) itu.
Namun pendapatnya terbantahkan oleh fatwa Ulama Besar Unifersitas Al Ashar Kairo tahun 1952 yang dibacakan sendiri. Fatwa itu melarang perempuan menjadi pemimpin memegang kekuasaan umum yang memutuskan urusan kemasyarakatan (pejabat), membuat undang undang (legislative), membidangi kehakiman (yudikatif), kekuasaan dan melaksanaan undang undang (ekskutif).
Pada kesempatan itu tampaknya pembicara membebaskan kepada peserta sarasehan untuk menerima atau menolak pendapat Sehah Walafiah. “Saya tetap berpendapat perempuan tetap boleh menjadi pemimpin, termasuk presiden. Karena presiden hanya menjalankan hokum Negara bukan hukum Allah atau di Negara islam,” katanya. Pertanyaannya dimana ada negara Islam yang menjalankan hukum Al Quran? Sehat tidak bisa menjawab pertanyaan itu. (bsr)