infowonogiri.com-PRACIMANTORO-Menindaklanjuti sidang kasus pemurtadan yang lalu, hari ini Kamis, pukul 09.00 (8/12) Muspika Kecamatan Pracimantoro menggelar kembali sidang serupa, bertempat di pendopo Kecamatan setempat.
Sidang dihadiri oleh tokoh-tokoh Ormas keagamaan, Muhammadiyah, NU, LDII, beserta beberapa tokoh agama/tokoh masyarakat, serta pelaku dan korban pemurtadan. Hadir pula pejabat Muspika (Camat, Kapolsek, dan Koramil). Diantara pelaku yang hadir adalah Wardi (50 th), Sarbino (30), Solikin, Sukir, Tukino yang masing masing berusia sekitar 30 tahun.
Sidang berjalan tertib. Awalnya, baik pelaku maupun korban berbicara menceritakan kronologis kejadian pemurtadan tersebut. Dalam sidang itu terungkap bahwa masing-masing korban mengaku diajak pelaku lain yang bernama Bowo dan Sunanto, yang dikabarkan warga Ngrancah, Kecamatan Giri Subo, dan warga Rongkop, Kecamatan Rongkop, Gunung Kidul, DIY.
Mereka diajak bekerja dengan upah Rp 100.000 perhari. Tetapi faktanya mereka diajak ke Hotel Kana di Kaliurang Yogyakarta. Di hotel tersebut mereka ternyata tidak dipekerjakan, tetapi justru disuruh mendengarkan ceramah dan sembahyangan (nyanyi dan tepok tangan).
Diantara mereka ada yang mengaku setelah kegiatan tersebut, lalu dibaptis. Yang agak aneh mereka semua mengganti nama dan alamat asli dengan alamat dan nama palsu. Ketika ditanya siapa yang menyuruh mereka mengganti nama serta alamat palsu, mereka mengaku atas kemauan sendiri. Tetapi mengapa mereka sama seperti diskenario???
Atas pengakuan mereka, pihak KUA Pracimantoro mengemukakan bahwa telah terjadi ketidkcocokan dengan data awal yang dikumpulkan pihak KUA dari hasil investigasi sebelumnya. Data yang terkumpul di KUA menyatakan bahwa mereka berangkat karena diajak berkerja memotongi tebu, serta ngaci (tukang batu) dengan gaji Rp.100.000.
Selain itu juga diperoleh data, mereka diminta ganti nama dan alamat. Sayang pihak yang dimintai keterangan KUA tidak didatangkan oleh Muspika, sehingga saat itu data tidak bisa dikroscek. Namun kesan bahwa mereka disetel sebelumnya tidak bisa ditutup-tutupi, karena semua mereka menjawab sama.
Menyikapi keterangan berbeda antara kelompok Wardi dengan kelompok korban yang lain, yang berbeda maka para tokoh agama meminta dan mendesak pemerintah untuk mengadakan sidang lanjutan dengan agenda krosing data.
Selain agenda pemurtadan, seperti sidang sebelumnya Selasa (29/11), terungkap kembali adanya beberapa tempat ibadah (gereja illegal). Bahkan diantaranya sudah pernah diadukan kepada Bupati, DPRD, hingga aparat kepolisian pada tahun 2001.
Namun hingga sekarang tempat ibadah itu tetap berdiri bahkan semakin megah karena ditingkat. Menyikapi hal tersebut peserta sidang khususnya dari umat Islam mendesak pemerintah untuk bersikap tegas. Hal ini menurut mereka dimaksudkan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Misalnya umat sendiri merobohkan tempat ibadah illegal itu. Kemungkinan itu bisa saja terjadi jika pemerintah tidak segera bertindak tegas.
Sidang berakhir pukul 11.30 dengan kesimpulan sebagai berikut;
- Perbedaan data yang ada harus diklarifikasi secara tuntas pada pertemua berikutnya.
- Para pelaku dan korban dimintai untuk membuat surat pernyataan bermaterai bahwa mereka telah menyadari kesalahannya serta tidak akan mengulang kembali.
- Menindaklanjuti data yang ada dan mengusut tuntas siapa yang bersalah secara hukum dan ditindak sesuai hukum yang berlaku.
- Pemerintah didesak untuk bersikap tegas terhadap pihak-pihak yang mendirikan tempat ibadah (gereja ) secara illegal.
- Semua pihak diminta menahan diri dan senantiasa menjaga kedamaian dan ketentraman masyarakat.
(Penulis Agus Wahyu – Pracimanto
pendirian gereja mesthinya mendapat persetujuan dari lingkungan dan ada jamaah dari lingkungan , karena tidak mendapat ijin dari lingkungan maka…..kalau tidak cepat di tindak lanjuti/follow up dari aparat yang ada maka masyarakat akan bertindak sesuai dengan hukum yang ada. (ya dirobohkan ramai-ramai).