WONOGIRI-Luas lahan pertanian di tepi Wadug Gajah Mungkur (WGM) Wonogiri mencapai sekitar 800 H2. Lahan pertanian tersebut berada di tujuh wilayah Kecamatan yang mengelilingi WGM, yakni Kecamatan Wonogiri, Wuryantoro, Eromoko, Giriwoyo, Baturetno, Nguntoronadi dan Ngadirojo.

Telah bertahun tahun lamanya, lahan tersebut dimanfaatkan oleh ratusan petani yang tinggal di tujuh wilayah kecamatan tersebut. Antara lain untuk bercocok tanam padi, palawija, jagung, kacang, lombok, sayuran, ketela pohon, rumput gajah untuk pakan ternak dan lain lain.

Sepanjang musim penghujan tahun ini lahan pasang surut tersebut tidak bisa dimanfaatkan untuk bercocok tanam. Karena lahan tersebut tergenang air WGM.  Tidak saja pada musim penghujan saat ini, tetapi juga saat musim penghujan tahun sebelumnya. Hanya saja tahun ini musim penghujan terasa lebih lama dibandingkan dengan tahun tahun lalu. Sehingga genangan WGM lebih lama.

Lahan pasang surut bisa dimanfaatkan untuk bertani manakala air genangan WGM surut. Oleh karena itulah lahan tersebut, disebut sebagai lahan pasang surut. Air WGM surut biasanya terjadi pada musim kemarau yang biasanya terjadi antara bulan Juni-Nopember. Diantara bulan terebut biasanya elevasi (genang air) WGM dibawah 136 – 128 dan seterusnya.

Sementara lahan tepi WGM yang berada diatas 136-138 tidak pernah tergenang. Pada lahan diatasnya lagi yaitu pada posisi 138-142 adalah lahan sabuk hijau (green belt). Lahan ini cenderung banyak dimanfaatkan oleh pengelola WGM, yakni Perum Jasa Tirta I yang meliputi wilayah Bengawan Solo dari Kabupaten Wonogiri sampai Kabupaten Blora dan Kabupaten Cepu.

Kepala Divisi IV Perum Jasa Tirta I Wonogiri Winarno Susiladi mengemukakan, lahan pasang surut yang selalu tergenang yaitu pada angka elevasi 128 – 136 mencapai 800 H2, sedangkan pasang surut yang tidak pernah tergenang dan sabuk hijau (green blet) yaitu pada angka 136 – 138 dan 138 – 142 memiliki luas lebih dari 1653 Hektar.

Lahan tersebut utamanya lahan pasang surut, sejak dulu sampai kini telah banyak dimanfaatkan oleh petani setempat. Namun pihak Jasa Tirta belum mempunyai data lengkap berapa orang jumlah petani pengelola lahan pasang surut itu. Menurutnya, sesungguhnya awalnya lahan pasang surut itu tidak bisa atau tidak boleh ditanami pohon semusim. Terutama lahan sabuk hijau.

Namun faktanya banyak ditemukan lahan pasang surut dan bahkan lahan sabuk hijau yang dimanfaatkan petani untuk bercocok tanam. Padi, palawija, jagung, kecang dan lain lain. “Fakatnya banyak. Dilarang pun sulit. Kita hanya bisa sosialisasikan. Kita tidak saklek. Boleh bercocok tanam, tapi tanamannya tidak boleh dicabut usai panen,” katanya. Sebab fungsi tanaman tersebut sebagai penahan tanah. Sehingga proses lumpur sedimentasi tidak cepat menumpuk di spilwey (pintu air) WGM. ([email protected])

By Redaksi

Tinggalkan Balasan