Tak Berkategori  

Kisah Perjalanan Pengembala Jangkrik Hingga Menjadi Pengembala Kambing

Mulyoko, Pengembala kambing menunggui kambing piaraannya
Mulyoko, Pengembala kambing menunggui kambing piaraannya
Mulyoko, Pengembala kambing  menunggui kambing piaraannya
Mulyoko, Pengembala kambing menunggui kambing piaraannya

INFOWONOGIRI.COM-SELOGIRI-Di kaki gunung Gunung Gandul Wonogiri, sisi selatan waduk Pare tepatnya di Dusun Pare RT 01 RW 03 Kelurahan Pare Kecamatan Selogiri ada seorang lelaki bernama Mulyoko. Sehari hari bekerja sebagai pengembala kambing.

Ada bermacam macam kambing. Tetapi lebih banyak kambing jenis domba (gembel), dibandingkan kambing jawa dan jenis lain. Pekerjaan “mengembala” kambing telah dirintis sejak tahun 2004. Pekerjaan ini merupakan “titisan” ayahnya, Sukat (70).

Namun sebenarnya, Mulyoko tidak mewarisinya (meniru) pekerjaan ayahnya. Mulyoko, dahulu, pernah berulang kali mencoba menekuni usaha lain. Misalnya jualan siomay, cilok, berdagang pakaian, tanaman hias, dan es degan.

Bahkan pernah usaha “mengembala” jangkrik. “Sebenarnya sudah berkali-kali mencoba usaha, akhirnya ketemu kambing,” kata Mulyoko, lelaki tinggi besar usia 31 th ini. Usahanya, diberi nama “Sekar Mendo,” bidang penggemukan kambing.

Sekar Mendo dimulai dengan -hanya- beberapa ekor saja. Awalnya 10 ekor, kemudian berkembang dan terus bertambah menjadi ratusan ekor. Pernah stok mencapai 500 ekor. Saat ini ada 200-an ekor kambing, dari kapasitas kandang 300 ekor.

Namanya juga usaha. Siapapun, pasti pernah mengalami kegagalan. Tidak ada pekerjaan yang mudah. Seperti yang dibayangkan saja. Penuh dengan lika-liku dan tantangan. Seperti halnya mengembala kambing. Semua pekerjaan harus mempunyai ilmu. Harus mau belajar.

“Pekerjaan ini tidak mudah. Semua harus menggunakan ilmu. Kalau tidak punya ilmunya, maka harus mau belajar. Mau bertanya, mau membaca,” tandas Yoko, panggilan akrab Mulyoko. Mulyoko banyak belajar kepada senior dan para pakar hewan hususnya kambing.

Pengalaman yang cukup “mengesankan” ketika kambingnya, -nyaris- secara beruntun mati. Jumlahnya mencapai ratusan. Data yang diingat suami Siti Aprilia Romadhani ini, kambing yang mati mencapai 140 ekor, dalam setahun. Bukan jumlah kecil itu.

Apa saja penyebabnya. Ternyata, banyak penyakit yang dapat menjangkit pada kambing. Antara lain, batuk, pilek, belek, tumor, gudik, strok, paru, keracunan, lumpuh, liper dan lain lain. “Sama seperti manusia. penyakit yang ada pada manusia, ada pada kambing,” tutur Yoko.

Penyakit-penyakit kambing, biasanya disebabkan oleh faktor silih berganti situasi (musim). Selain itu karena pengaruh suplai makanan. Karena itu, Yoko dibantu seorang karyawannya, Mursyid sangat berhati-hati dalam memberi makanan.

Jika terlanjur penyakitan, solusinya si kambing diinjeksi dengan obat-obatan. Obat pilihannya adalah berjenis herbal berbahan empon empon/rempah-rempah. “Kalau tidak bisa sembuh solusinya dijagal (disembelih’red),” kata anak ragil dari 5 bersaudara ini.

Al hasil, dari belajar, dan dari pengalaman, kini Mulyoko mulai merasakan nikmatnya. Dalam setahun, hampir setiap tahun, Mulyoko bisa menjual kambing hingga mecapai 500-600  ekor. Apalagi jika sedang mendapatkan “proyek” maka bisa lebih dari biasanya.

Kambing piarannya dijual ke pasar harian, tradisional. Ke tukang jagal. Seperti warung sate, rumah makan dan orang punya hajat-an. Tetapi itu tidak bisa menjual banyak ekor. Momen top, saat jelang lebaran haji (idul qurban) dan proyekan. Bisa ratusan. Mau mencoba? (baguss)

Tinggalkan Balasan